Minggu, 28 Oktober 2007

Artikel...!

Razia Warnet, Saatnya Beralih ke Open SourceMerry Magdalena
Sejumlah warung internet (Warnet) sejak Maret lalu terjaring dalam razia penggunaan peranti lunak bajakan. Pertanda lemahnya kesadaran hukum atau aparat yang memang diskriminatif?
Sejak diberlakukannya Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Nomor 19 tahun 2002 , pihak aparat kepolisian mulai gencar mengadakan razia. Bukan hanya razia VCD bajakan, namun peranti lunak program komputer tak luput dari incaran. Hasilnya, sejak Maret kemarin ratusan Warnet yang terbukti menggunakan peranti lunak tanpa lisensi dijaring petugas. Bukan pemiliknya yang ditangkap, melainkan penahanan semua peranti keras komputer yang ada. Penyitaan tersebut dilakukan dengan dalih sebagai barang bukti. Semua peranti keras tersebut terbukti tidak memiliki apa yang disebut dengan End User License Agreement (EULA).
EULA ini adalah izin yang berasal dari pihak pemilik lisensi dalam hal ini Microsoft bagi pengguna peranti lunak untuk memakai dan menyewakannya,? ujar Judith MS, Ketua Presidium Asosiasi Warung Internet Indonesia (AWARI) kepada SH di Jakarta, Selasa(26/5). Sebagai sistem operasi yang mengenakan biaya lisensi bagi penggunanya, Microsoft memang dilindungi oleh UU HaKI dari ulah konsumen yang tidak memiliki EULA. Uniknya, pihak Microsoft sendiri agaknya memang kurang gencar melakukan sosialisasi EULA. Tak heran banyak Warnet atau juga perkantoran yang masih melenggang menggunakan sistem operasi Microsoft seperti Windows 98, 2000 sampai XP dalam versi bajakan alias menggandakan sendiri. Padahal sanksi hukumnya jelas, yakni yang bersangkutan harus membayar denda dan mengganti semua peranti bajakan tersebut dengan yang berlisensi.
Harga Terjangkau
Judith berpendapat bahwa semestinya pohak Microsoft memberi keringanan harga lisensi bagi komunitas Warnet yang mengandalkan pendapatannya dari rental internet. Misalnya dengan memberi harga yang terjangkau bagi mereka. Misalnya sistem operasi Windows 98 SE bias diturunkan menjadi 1 dolar Amerika per programnya,? imbuh Judith. Windows 98 SE memang merupakan versi lama Windows yang kini sudah tidak diproduksi lagi.
Jika ditanya seberapa besar perbandingan antara Warnet yang memakai peranti lunak bajakan dengan yang berlisensi, maka Judith mengakui bisa dikatakan 98 persen Warnet di Indonesia masih memakai yang bajakan. Ini bisa dimaklumi sebab biaya EULA masih tergolong mahal. Ditambah lagi sebuah Warnet harus juga menanggung biaya bandwidth internet yang cukup selangit. Bahkan satu Warnet seringkali menghabiskan 50 persen biaya operasionalnya demi menyewa bandwidth.
Harga bandwidth di Indonesia dinilainya lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Kondisi ini membuat sebagian besar Warnet kesulitan menambah modal untuk membeli peranti lunak legal.
Sweeping alias razia terhadap peranti lunak bajakan ini sudah dilakukan di ratusan Warnet di Yogyakarta, Semarang, Padang, Bali, Cilacap dan Bandung. Uniknya, dari sekian banyak kasus, hanya yang di Cilacap saja yang berhasil dibawa ke pengadilan, sedang sisanya lebih banyak mengambil jalan "damai".
Lebih dari itu, yang menjadi keberatan di pihak pemilik Warnet adalah apa memang benar hanya Warnets saja yang sudah melakukan pelanggaran UU HaKI? ?Bagaimana dengan perkantoran dan institusi lain yang juga memakai peranti lunak ilegal,? cetus Judith yang memimpin AWARI dengan sekitar 4.000-an anggota di seantero Indonesia.
Open Source
Pihak AWARI telah mengirim permohonan kepada aparat kepolisian agar ada tenggang waktu bagi Warnet yang memang masih belum menggunakan peranti lunak legal, yakni tiga bulan.
Microsoft bukan satu-satunya pengembang peranti lunak yang memberlakukan EULA bagi penggunanya. Ada peranti lunak lain seperti MP3 WinAmp dan aplikasi kompresi dokumen WinZip. UU HaKI diyakini bisa menekan angka pembajakan peranti lunak di Indonesia yang tergolong cukup tinggi.
Berdasarkan catatan Business Software Alliance (BSA), industri peranti lunak Indonesia mengalami kerugian juta dolar Amerika akibat penggandaan ilegal yang dilakukan oknum tertentu.
Pembajakan sendiri dalam UU HAKI itu menyebutkan, mengatur apa yang dinamakan pelanggaran terhadap pengguna akhir (end user piracy) dalam Pasal 72 ayat (2). Yakni, barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum barang hasil pelanggaran hak cipta, maka akan dipidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp 500 juta. Namun pada kasus peranti lunak yang dipakai Warnet, pelanggaran tersebut agak abu-abu, sebab jelas-jelas Warnet tidak menjual atau memperdagangkan peranti lunaknya.
Memang sudah saatnya Warnet dan perkantoran di Indonesia menyiasati razia HaKI dengan sistem operasional Open Source, yakni sistem operasional komputer yang tidak mengenakan biaya lisensi bagi pemakainya.
Sumber :
Suara Pembaruan (28 April 2005)
» kirim ke teman» versi cetak
revisi terakhir : 24 Mei 2005

Tidak ada komentar: